Kajian Literasi : Bitcoin dan Cryptocurrency dalam Perspektif Islam

 

Jakarta, AIK News, Cryptocurrensy merupakan mata uang digtal atau virtual yang di jamin oleh Cryptography. Cryptography merupakan metode yang digunakan untuk melindungi informasi dan saluran komunikasi melalui penggunaan kode. Dengan adanya cryptocurrensy kita memiliki aset kripto, yaitu komuditas tidak berwujud yang berbentuk aset digital yang menggunkan kriptografi, jaringan peer-to-peer, dan buku besar yang terdistribusi untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan orang lain.

“Karakteristik cryptocurrensy sudah pasti digital dan hanya berlaku dikomputer, dan juga di indonesia belum diberlakukan sebagai alat tukar karena belum disetujui oleh Bank Indonesia dan OJK”. Kata siti Jamilah salah satu narasumber kajian literasi.

Transaksi uang pada umumnya selalu melibatkan pihak yang menengahi setiap transaksi, seperti bank. Namun di dunia cryptocurrency, tidak ada bank atau pihak tersebut. Setiap orang bertanggung jawab atas uang mereka sendiri. Dalam menggunakan cryptocurrency, kamu tidak perlu percaya kepada siapa pun dalam sistem. cryptocurrency adalah mata uang digital yang dapat digunakan untuk transaksi antarpengguna tanpa perlu melewati pihak ketiga.

Dalam diskusi kajian literasi Siti Jamilah juga menjelaskan fungsi cryptocurrensy. “kalau diluar negri uang crypto sudah digunakan sebagai alat tukar barang dan jasa”. Prinsip dari cryptocurrency ini sama dengan prinsip ekonomi, dimana harga akan naik ketika terdapat banyak sekali permintaan. Semakin banyak orang yang berinvestasi, maka harga juga akan melambung naik. Akan tetapi, investasi ini termasuk ke dalam kategori high risk (resiko tinggi).

Pertambangan merupakan sesuatu hal yang sangat berkaitan dengan cryptocurrency. Pengguna harus bisa memecahkan teka – teki dari kriptografi yang rumit untuk dapat mengkonfirmasi transaksi dan mencatat dalam sebuah blockchain. Semakin besar daya pengguna, maka semakin besar peluang untuk dapat memecahkannya. “Risiko kripto dalam transaksi bukan sebagai alat pembayaran yang sah, aset kripto memiliki nilai yang fluktuatif dan tidak terkendali, aset kripto tidak diawasi OJK”. Ujar Siti Jamilah

Halal – Haram Crypto

Menurut MUI ada dua kriteria yang harus dipenuhi agar uang kripto bisa menjadi alat tukar

  1. Substansi benda tersebut dapat dimanfaatkan secara langsung
  2. Diterbitkan oleh lembaga yang memiliki otoritas untuk menerbuitkan uang

Uang – yang dalam literatur fiqh disebut dengan tsaman atau nuqud (jamak dari naqd)– didefinisikan oleh para ulama, antara lain, sebagai berikut: “Naqd (uang) adalah segala sesuatu yang menjadi media pertukaran dan diterima secara umum, apa pun bentuk dan dalam kondisi seperti apa pun media tersebut.” (Abdullah bin Sulaiman al-Mani’, Buhuts fi al-Iqtishad al-Islami, Mekah: al-Maktab al-Islami, 1996, h. 178).

“Naqd adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas.” (Muhammad Rawas Qal’ah Ji, al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah fi Dhau’ alFiqh wa al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Nafa’is, 1999, h. 23)

Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda: “Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.”

“Bagaimana kalau kripto didefinisikan sebagai uang?” pertanyaan yang dilontarkan oleh Asep Supyadillah. Kemudia beliau menjelaskan dengan tegas “Dari hadis diatas, ketika kripto sebagai uang maka harus dilakukan: pertama, apabila ditukar jenisnya sama (misal rupiah dengan rupiah, atau beras dengan beras) maka harus dilakukan secara sama jumlahnya (Al-Musawah matslan bi mitslin, sawaan bisawain) dan tunai (Al-Furuiyah-yadan-biyadin). Kedua, apabila tidak sama jumlahnya maka menjadi riba fadhal. Ketiga, apabila tidak tunai menjadi riba nasa’. Kemudia apabila jenisnya berbeda (misal rupiah dengan dolar) maka harus tunai (yadan biyadin), bila tidak tunai maka menjadi masuk katagori riba nasi’ah (kali bil kali). Secara garis besar ada riba pertukaran (al-bai’) dan ada riba utang piutang (duyun). Riba al-bai’ terdiri dari fadhl dan riba nasa’. Riba duyun terdiri dari riba nasa’ah dan riba jahiliyah”.

 

Asep Supyadillah juga menjelaskan metode screening aset kripto syariah yaitu:

  1. Apakah teknologi yang mendasari suatu aset kripto berhubungan dengan transaksi haram (contoh: pinjaman berbunga)?
  2. Apakah ekosistem yang mereka gunakan dan ciptakan berkaitan erat dengan aktifitas terlarang/tidak bermoral sehingga tidaj oantas untuk (atau mengambil utang dari) ekosistem tersebut?
  3. Apakah ada alasan teknis / struktural lain mengapa ada kekhawatiran tentang cryptocurrensy ini?

“Pada intinya mengapa crypto dianggap haram karena megandung ghoror, terdapat spekulasi ketidak jelasan merugikan salah satu pihak dan mengandung riba” kata Asep Supyadillah dalam mengakhiri penjelasannya tentang Cryptocurrensy perspaktif Islam dalam diskusi kajian literasi (Rabu, 12 Dzulqaidah 1442 H bertepatan dengan 23 Juni 2021)

 

Untuk lebiih lengkapnya silahkan saksikan di Youtube Aikumj channel:

Jangan Lupa Like, Comen, Subscribe and Share

 

Penulis: Khoiriyah Safitri – Staf LPP AIK UMJ

Written by 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *